RSS

Kenapa Harus UNSRI? Kenapa Harus ELEKTRO?




Mungkin jika kalian yang membaca postingan ini mengetahui begitu panjangnya jalan sehingga aku akhirnya ter-entri dalam Teknik Elektro Universitas Sriwijaya. Jalan panjang yang kumaksudkan bukan berarti aku telah menempuh perjalanan begitu panjang hanya untuk masuk ke TE Unsri, melainkan begitu banyak tempat yang aku gagal singgahi, sampai akhirnya aku menginjak pedal rem pada Universitas bunga teratai ini.
Mungkin jika yang membaca ini adalah sahabatku semasa SMA, mereka tahu bahwa Universitas yang aku sangat ingin aku jangkau adalah ITB. Di dorong dengan minatku yang ingin masuk ke Teknik, dan tentunya kita tahu bahwa ITB adalah Universitas Teknik terbaik di Indonesia (pendapat sebagian masyarakat, di dukung persentase peminat tiap tahun dan passing grade yang dibuat oleh pusat bimbingan belajar swasta). Di lain sisi, salah satu kakakku adalah alumni dari sana, dia lulusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri atau FTI (perlu diketahui memang saat ini Teknik Mesin di ITB terdapat pada Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara atau FTMD, tapi saat itu Teknik Penerbangan dan Astronika sempat ditiadakan, bahkan FTTM belum ada dan Teknik Perminyakan serta Teknik Pertambangan tergabung dalam FIKTM bersama Teknik Geologi dan kawan-kawannya). Melihat kakakku yang belum resmi wisuda sudah mendapat undangan kerja kemana-mana, aku jadi sangat tertarik. Akhirnya, aku putuskan untuk SNMPTN undangan aku memilih ITB.

Kampus ITB

Pada mulanya, aku ingin memilih Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara dengan Prodi Teknik Mesin seperti kakakku, melihat peluang kerjanya sangatlah besar (walaupun setelah itu aku ketahui bahwa jika kita dapat lulus dari fakultas apapun itu selama itu di ITB, akan mudah mendapat pekerjaan). Namun ada seorang temanku, yang juga mengambil Fakultas yang sama, sehingga aku merubah pikiran. Setelah browsing dan bertanya ke sana kemari, aku memilih Fakultas favorit para juara umum, yaitu STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika) ITB. 

Itu sudah aku tekadkan, dan aku tidak ingin mundur. Pilihan tersebut telah aku entri dalam web SNMPTN. Tapi belum aku finalisasi. Aku mulai tertarik dengan STEI, walaupun sebenarnya dalam fisika listrik adalah titik lemahku. Aku mulai mempelajari banyak materi kelistrikan, dan menguatkan status bahwa aku layak untuk masuk STEI. Seminggu jelang hari terakhir finalisasi, aku mendengan temanku tadi juga merubah pilihannya, ia urung memilih FTMD, tapi ia beralih ke FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan). Dan itu kembali berhasil membuatku galau, mengingat STEI adalah fakultas favorit para siswa juara di seluruh Indonesia, dan bagiku yang minim prestasi dan hanya bermodalkan piagam Juara II Olimpiade Fisika tingkat kabupaten ini, peluang untuk masuk STEI nyaris nihil. Akhirnya pada malam terakhir untuk finalisasi, aku mengubah kembali pilihanku, aku letakkan FTMD sebagai pilihan pertama, dan FTI pilihan kedua (dan ini sangat ceroboh).

Dalam penunggu pengumuman UN, aku tidak begitu cemas, tapi saat hari pengumuman SNMPTN undangan kian dekat, aku kian cemas. Rasa takut terus menyelimutiku siang malam. Entah mengapa, aku merasa hal buruk akan terjadi padaku. Aku begitu cemas, aku tidak ingin membayangkan apa yang terjadi hari itu. Aku bertekad, jika lulus, aku akan segera menemui kedua orang tuaku, dan mencium tangan mereka. setelah itu, aku akan berlari ke sekolah dan GO untuk menemui para guru. Aku tahu, peluang untuk lulus sangat sempit, mengingat baru satu orang alumni kami yang berhasil menembus ITB. Dan pada tahun ini, ada 6 orang yang mendaftar ITB. Aku tahu, meskipun Guru ku menargetkan siswa SMANSA tahun ini yang lulus ITB tiga orang, ITB tidak akan memilih lebih dari dua orang, dan dua orang itu adalah harga maksimal. Jumlah siswa yang lulus yang dapat mendekati pasti hanya satu orang.

8 Juni, hari senin. Beberapa dari kami berada di Bimbingan Belajar GO untuk mempersiapkan diri menempuh ujian tulis (SBMPTN) jika gagal di SNMPTN undangan. Pengumuman akan serentak di entri pukul 16.00 WIB. Sebagian temanku tampak tenang, ada yang memang tenang, ada yang tampak tenang tapi sebenarnya ia cemas, dan aku, meskipun mencoba tampak tenang malah makin memperlihatkan kecemasan dan ketegangan di wajahku. Ketakutan itu makin merambat sampai terasa mencekik leherku.

Pukul 15.52 WIB, makin tegang. Aku mencoba menenangkan diri dengan solat Ashar. Solatku kali ini agak lama ditambah lagi doa yang sangat panjang. Ketika aku menengadahkan tangan meminta keputusan terbaik dari Allah, kosentrasiku terpecah, suara riuh, teriakan, suka cita, mulai bergemuruh di ruang TST. Aku mendengar teriakan Torik yang paling keras, setelah berhasil lulus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Kekhusyukan ku makin berantakan ketika teriakan lain mulai saling bersahutan. Setelah khatam berdoa, aku kembali berbaur dengan mereka di ruang TST, dengan degup jantung yang kian membludak. Teman-teman yang kutanyai rata-rata mereka lulus. Dan saat aku mendekati komputer, sahabatku Syahri, yang juga mengambil ITB sudah duduk di sana. Dia mulai memasukan nomor peserta dan tanggal lahir. Kalau lulus, akan ada tabel ber-line warna hijau, jika gagal warna merah. Syhari menekan enter, dan....!!!???

Keluar tabel ber-line merah. Tulisannya

"maaf, kode yang anda masukkan salah."

ternyata dia hanya salah memasukan kode, seharusnya KAP yang dimasukkan, bukan nomor peserta. Setelah itu, Enter, dan...!!

"Selamat, anda dinyatakan lulus sebagai mahasiswa Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung."

Tentu, siapa yang tidak bahagia jika tahu dirinya lulus ITB. Dalam pikiranku hanya satu, "wah, peluangku untuk lulus juga besar nih." 

Sialnya aku menyelewengkan bahwa dengan diketahui lulusnya Syahri, sudah satu orang yang lulus dari SMANSA. Apa benar peluang itu makin besar? tentu makin kecil 'kan?

Aku memasukan kode KAP dan tanggal lahir.
Tabel ber-line merah!!!
Aku hanya berharap kalau itu sama seperti Syahri tadi, bahwa aku salah memasukkan kode. ternyata tulisan yang aku harapkan itu berbeda

"Maaf, anda dinyatakan tidak lulus SNMPTN."

Tidak ada pikiran dan rasa dalam diriku saat itu. Semua menghampa, kosong, dan gelap. Sesaat kemudian Syahri langsung memelukku dan berbisik untuk menyemangatiku, saat itulah aku kembali mulai dapat merasa, dan rasa pertama yang hinggap itu adalah rasa sedih yang menancap sampai sedalam-dalamnya lubuk hati, menggelapkan pandang, dan melemaskan dengkul yang menopang tubuh tambun ini. Kulihat Eben, sahabatku yang juga tidak lulus, mencoba beberapa kali mamasukkan KAP dan tanggal lahirnya berharap bahwa hasil itu dapat berubah, tapi keputusan panitia SNMPTN sudah bulat dan sah, tidak dapat digugat dan digoyah.

Diantara ramainya riuh gagap gempita mereka yang bersuka cita. aku memikul hati yang terasa berat, dan berusaha tetap tersenyum kepada siapa saja yang aku kenal di sana. Aku ajak Eben, aku yakin apa yang kami alami dan rasakan saat itu sama. Pura-pura merasa suasana GO meredam. Aku dan Eben undur diri dan pulang ke rumah. Pikiran ku kosong hening semakin menyelimuti hingga kakiku sudah berdiri di ambang pintu rumahku.


Aku parkirkan motorku di teras rumah. Ayahku yang sedang bekerja langsung dapat membaca air wajahku. Beliau tidak menanyakan apa-apa saat aku pulang. Aku masuk rumah, masuk ke kamarku dan aku menemui ibu ku tengah melipat pakaian. Aku mencoba untuk tegar dan menahan perih serta amarah yang bergemuruh di dada. Nafasku kian sesak. Aku beritahukan kepada ibu ku hasil pengumuman barusan, dan mencoba untuk tersenyum menghibur diri. Tapi ibu tahu, kalau senyum yang kusunggingkan itu dipaksa. Mata dan gerik tubuhku tidak dapat membohongi perempuan yang melahirkan ku ini. Dia tahu di dalam hati anaknya ini pasti merasakan hal yang sangat berat.
                Kalu menelpon semua teman sekelasku dan menanyai kabar mereka. Senang juga mendengar dari 30 orang siswa kelasku, 21 orang dinyatakan lulus SNMPTN undangan. Mereka berusaha menghibur dan menyemangati. Tapi jelas kebahagiaan mereka tetap dominan terlihat saat bilang
                “tetap semangat wan, masih banyak jalan lain.”
                Well, aku masih bisa menahan emosi sampai menjelang maghrib. Hanya sampai menjelang maghrib. Dan setelah itu tangisku tumpah. Ibuku mendekatiku dan menghibur
                “sudahlah. Memang bukan jalan keluarga kita untuk lulus undangan. Semuanya, kak Hadi, kak Fadhil, kak Mursyid, mereka lulus jalur tulis.”

                Aku jadikan itu sebagai motivasi. Sempat aku berpikir untuk mengambil FK Unsri untuk jalur tulis SBMPTN. Namun setelah berkonsultasi dengan ketiga kakakku, khususnya kakak ke dua ku yang alumni ITB dan pacarnya, Seorang Dokter alumni FK Unsri, aku kembali fokus ke Teknik. Dan aku sudah memustuskan untuk mengambil Teknik Elektro Unsri, saat itu. Ya, saat itu.
                Keraguan mulai timbul lagi. Aku masih belum bisa move on dari ITB. Aku sudah berkonsultasi kemana pun, solat istikharah, dan membaca berbagai sumber. Akhirnya, sebelum aku resmi mendaftar SBMPTN, pilihanku perlahan mulai berubah.
                “Kakakmu ada yang tamatan ITB kan, Wan?” selidik Bu Yernim.
                “Iya bu.”
                “Jalur tulis?”
                “iya bu.”
                “kenapa tidak coba ikut lagi. Mana tahu bisa lulus.”
                Aku hanya tersenyum. Tentu akan sangat sulit untuk bersaing memperebutkan kursi di ITB. Saat itu Aku menolak dengan alasan akan mencoba tahun depan. Ya, saat itu.

                Setelah banyak bisikan dan sugesti dari bermacam pihak—yang kemudian aku anggap sebagai petunjuk dari solat istikharah—pilihanku kembali terlontar ke ITB. Yaitu FTSL, passing grade nya 43%. Aku yakin aku masih bisa mengejarnya. Walaupun aku ragu saat melihat PG TO ku rata-rata 32%.
                TO ke-dua terakhir, setelah sebelumnya aku belajar cukup keras disertai main game cukup keras untuk refreshing, memperlihatkan jalan terang saat aku tahu PG ku mencapat 41.50%. Hanya butuh 4 soal lagi untuk mencapai PG FTSL ITB. Aku makin pede, dan ke-pede-an itu yang akan menghancurkanku ke depannya.

                TO terakhir diadakan di hari dimana aku akan pergi ke Palembang untuk tes SBMPTN di sana. Dan ketika aku melihat soal TO terakhir itu, terlalu berbeda dengan TO sebelumnya. Jauh lebih sulit dan rumit. Aku berpikir ini hanya akan keluar sedikit saat SBMPTN besok. Jadi tidak terlalu kupusingkan. Dan kau tahu kawan? Pasti kau tahu benar atau tidak perkiraanku tadi.
                Aku datang ke kampus UIGM, tempat aku akan mengikuti tes. Satu orang pun tidak ada yang ku kenal. Ini sangat kontras dengan keadaan TO yang sering aku ikuti. Aku akan tenang menghadapi TO jika banyak teman yang aku kenal di sekitarku. Dan saat aku membuka kertas soal, tingkat kesulitannya sama seperti TO terakhir. Kenapa baru di TO terakhir prediksi soalnya paling mendekati? Rasa pede-ku menguap. Dua hari tes, dan aku tidak ingin memeperkirakan, memprediksi, menebak, atau berangan aku akan lulus. Karena seperti ada hantu yang berbisik di ulu hatiku, kalau aku tidak akan lulus mengingat hasil tes ku yang berantakan.
                Setelah ditelaah. Soal tersebut tidak terlalu sulit. Tapi aku sudah merasa terbebani terlebih dulu oleh ketatnya persaingan, ITB, dan Passing Grade TO setinggi 41,50 % itu. Menjelang puasa, tanggal 8 Juli. Pengumuman SBMPTN. Ayah dan Ibu berada di kanan kiriku. Aku memegang laptop, menanti pukul 16.00 WIB.
              setelah pukul 16.02 WIB. Aku membuka web SBMPTN, memasukkan nomor peserta dan tanggal lahir. Aku rasa pihak panitia hanya meng-COPAST tulisan dari SNMPTN kemarin. Hanya mengganti huruf “N” dengan huruf “B”.
                Maaf, anda tidak lulus SBMPTN.
               Ya, itu saja. Cukup membuatku sangat Shock dan sakit sejak hari pertama puasa sampai seminggu berikutnya. Semua kakakku berhasil lulus tes tulis. Aku? Pilihan dua dan tiga pun tidak ada yang tembus. Aku mulai putus asa. Teman-teman masih menghibur dengan kata-kata andalan seperti mereka tidak pernah bosan dengan kata itu
                “Sabar, Wan. Masih banyak jalan.”
               Jalan apa? Mandiri? UMB? UMB berbarengan dengan tes STAN. Mandiri? Berarti yang terdekat adalah USM Unsri. Selama ini aku dengar setiap masuk lewat jalur mandiri pasti biayanya selalu “Waw”. Aku tidak ingin mempersulit keadaan. Pihak keluargaku di Palembang langsung menghibur. Mensugestiku tentang jalur USM. Kampus bagi lulusan USM dengan siswa SBMPTN dan SNMPTN berbeda. SNMPTN dan SBMPTN ditempatkan di kampus utama, Indralaya. Sedangkan USM di kampus Palembang. Dan mahalnya itu tentu mahal kampus Palembang. Apalagi Teknik, akan sering praktik. Sedangkan Laboratorium utama Teknik ada di Inderalaya.

Perlahan hatiku luluh dan mau menerima diri. Aku mengikuti USM Unsri. 

Aku sedikit terhibur dan merasa senang karena ada temanku yang juga ikut USM. Ada Bicik (Ika Hesty), dan Eben, mereka teman sekelasku yang bernasib sama sepertiku (tidak ada yang lulus). Ada Kiki, Elsa (Nces), dan Linsun, mereka juga rekan sekelasku, namun mereka sudah memiliki pegangan masing masing. Kiki di FK Unja, Nces di FKIP Kimia PGSBI Unja, dan Linsun Pendidikan Fisika UPI Bandung. Di luar pengetahuanku ternyata ada temanku yang lain seperti Iqbal, Rizki Budiman (SMANSA) dan Agung (TT).

Aku cukup bingung memilih Prodi mana yang sesuai untukku. Akhirnya aku mimilih prodi yang aku pilih pertama di ITB dulu. Ya, Teknik Elektro. alasannya simpel. Karena hanya perlu mendalami fisika di sana. Tidak kimia, apalagi Biologi.

Soal tes tersebut sangat berbeda dengan SBMPTN jika dilihat dari tingkat kesulitan. Jika saat SBMPTN aku masih sibuk mengerjakan soal sampai waktu habis. Saat USM masih tersisa 30 menit untukku bersantai. Aku cukup pede dengan hasil yang kuraih, aku yakin bisa lolos kali ini.

tangga 21 Juli. Hari pengumuman, bertepatan dengan tes STAN. sampai pukul 22.00 WIB belum juga keluar. Hingga aku tertidur, dan mendapati diriku terbangun saat waktu sahur tiba. Aku buka tab kakakku, di sana tertera lengkap. Mulai dari nama, Fakultas, Jurusan, dan UKT ku yang meledak. All is Well, setidaknya aku sudah mendapat tempat kuliah untuk tahun ini. Rekanku yang lulus hanya dua orang, yaitu Bicik dan Linsun. Aku berharap Eben, Nces, dan Kiki juga lulus sehingga aku masih memiliki banyak teman di sini.

Setelah melakukan registrasi ulang via online dan langsung ke Indralaya. Aku resmi menjadi Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Sriwijaya melalui jalan yang cukup panjang dan berliku-liku untuk mencapai titik ini. Meskipun saat aku coba almamater ku masih tidak muat -_-.

But all isn't bad. Banyak cerita dan hikmah yang dapat aku petik dari sini. 42 hari di Palembang dalam perjuangan mencari Universitas memberikan banyak pengalaman. Mungkin jalanku memang ke Unsri, mungkin Teknik Elektro memang prodi yang tepat buatku. I know Allah's more than know what we never know. and I believe that, i believe Him. Setidaknya aku harus fokus mencapai target "cepat selesai" kuliahku, sehingga dapat meringankan beban kak Fadhil dan orangtua ku. hahaha.

and than, i hope if there's SMANSA BATARI student who reads this article, please join me at Electrical Engineering University of Sriwijaya. Because Electrical is fun, and one more, I'm still alone in here, in Electrical Engineering Unsri. You know? I'am the first generation from SMANSA BATARI that be a Student at Electrical Engineering Unsri. hehehe.

Wait me at socialization at SMANSA. and i'll show you that Electrical Engineering isn't Fuck, but Electrical Engineering in FUN. FUN not FUCK. Electrical Engineering is a Profession for Intelligent People. Salam Petir!




1 komentar:

hilmanrfd mengatakan...

selamat kak, sangat memotivasi.. tapi membuat saya agak down karena malas belajar.. mungkin ini menjadi pencerahan buat saya untuk berubah. dalam 8 bulan lagi apakah semuanya bisa berubah?

Posting Komentar